carimobilindonesia.com Industri otomotif Indonesia kini memasuki periode krusial menjelang akhir tahun. Para pelaku industri sedang mengawasi ketat perkembangan penjualan mobil nasional. Salah satu kekhawatiran terbesar datang dari Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Mereka melihat potensi Indonesia tergeser oleh Malaysia dalam hal total penjualan mobil tahunan. Kondisi ini menjadi sorotan karena Indonesia selama ini dikenal sebagai pasar otomotif terbesar di kawasan ASEAN.
Kekhawatiran ini muncul akibat perlambatan penjualan mobil yang terjadi hampir sepanjang tahun. Situasi global yang tidak menentu, tekanan ekonomi, serta kenaikan biaya hidup membuat konsumen menunda pembelian mobil. Penurunan permintaan ini berdampak besar bagi industri otomotif yang sangat bergantung pada volume penjualan.
Target 800 Ribu Unit Jadi Batas Aman
Bob Azam, Wakil Presiden TMMIN, menjelaskan bahwa Indonesia masih punya peluang mempertahankan posisinya. Namun pasar harus mampu menembus minimal 800 ribu unit dalam setahun. Angka itu dianggap sebagai batas aman agar Indonesia tetap unggul dari Malaysia. Jika realisasi penjualan turun di bawah angka tersebut, posisi Indonesia sebagai pasar terbesar di kawasan sangat mungkin bergeser.
Indonesia biasanya berada jauh di atas Malaysia dalam hal penjualan mobil tahunan. Namun kondisi ekonomi global membuat kesenjangan itu semakin kecil. Malaysia justru mencatat tren penjualan yang lebih stabil. Negara itu memiliki pasar yang tidak terlalu besar tetapi relatif kuat dalam segmen premium dan mobil nasional. Kondisi ini membuat penjualan mobil mereka tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak global.
Menurut Bob Azam, Indonesia menghadapi tantangan lebih besar karena pasar domestik sangat sensitif terhadap perubahan harga dan kondisi ekonomi. Kenaikan suku bunga, biaya kredit kendaraan, dan harga kebutuhan pokok membuat minat beli masyarakat melemah. Jika tren ini tidak segera pulih, total penjualan mobil Indonesia bisa berada di bawah Malaysia untuk pertama kalinya.
Mengapa Indonesia Bisa Kalah dari Malaysia?
Ada beberapa faktor yang membuat posisi Indonesia terancam. Pertama, daya beli masyarakat melemah. Konsumen cenderung menunda pembelian mobil karena khawatir dengan kondisi ekonomi. Mobil dianggap sebagai kebutuhan tersier yang bisa ditunda.
Kedua, pembelian mobil di Indonesia sangat bergantung pada skema kredit. Ketika suku bunga naik, cicilan menjadi lebih mahal. Situasi ini tidak terjadi sekuat di Malaysia. Banyak konsumen Malaysia membeli mobil secara tunai atau melalui skema kredit yang lebih stabil.
Ketiga, Malaysia memiliki model mobil nasional yang harganya relatif terjangkau. Produk seperti Proton dan Perodua menjadi tulang punggung penjualan di sana. Mobil-mobil ini memiliki pasar yang loyal. Sementara itu, Indonesia belum memiliki mobil nasional yang benar-benar mendominasi pasar.
Keempat, insentif pemerintah Indonesia untuk pembelian mobil lebih terbatas dibanding beberapa tahun lalu. Relaksasi PPnBM yang pernah mendorong penjualan kini tidak lagi diberlakukan. Hal ini membuat pasar kembali melambat.
Kelima, ketidakpastian global juga berdampak pada biaya produksi. Harga bahan baku naik. Kurs rupiah melemah. Hal ini membuat harga mobil sulit ditekan.
Dampaknya bagi Industri Otomotif Indonesia
Jika penjualan mobil Indonesia turun di bawah Malaysia, dampaknya bukan hanya soal angka. Reputasi Indonesia sebagai pasar terbesar di ASEAN bisa tergerus. Padahal reputasi itu menjadi salah satu alasan banyak pabrikan global menanamkan investasi besar di Indonesia.
Investasi industri otomotif tidak hanya mencakup pabrik mobil. Ada juga pabrik komponen, jaringan distribusi, logistik, hingga industri pendukung. Jika pasar melemah, minat investor pun bisa menurun. Beberapa industri pendukung bahkan bisa mengurangi produksi karena permintaan turun.
Dampak lain adalah potensi hilangnya kesempatan Indonesia menjadi hub produksi mobil untuk kawasan Asia Tenggara. Pabrikan global selalu melihat kombinasi antara kapasitas produksi dan kekuatan pasar domestik. Jika pasar melemah, Indonesia bisa kalah bersaing dengan Thailand dan Malaysia yang tak henti-hentinya mempromosikan diri sebagai pusat produksi otomotif ASEAN.
Harapan Toyota: Stimulus dan Percepatan Pemulihan Pasar
TMMIN menilai masih ada cara untuk memperbaiki situasi. Pemerintah bisa memberikan beberapa stimulus agar pasar kembali bergerak. Misalnya dengan insentif untuk kendaraan ramah lingkungan, penurunan pajak tertentu, atau kemudahan kredit. Stimulus seperti PPnBM pada masa pandemi terbukti berhasil mendorong lonjakan penjualan.
Selain stimulus, industri juga perlu memperkuat inovasi produk. Konsumen saat ini menyukai mobil dengan fitur lengkap, irit, dan harga kompetitif. Produsen juga perlu mempercepat produksi mobil listrik dan hybrid. Segmen ini diprediksi tumbuh stabil meski kondisi ekonomi berfluktuasi.
Toyota berharap pemulihan ekonomi dapat meningkatkan minat masyarakat membeli mobil. Mereka melihat peluang karena beberapa indikator ekonomi mulai membaik meski perlahan. Jika masyarakat kembali percaya diri dengan kondisi keuangan mereka, maka penjualan mobil pun bisa meningkat.
Kesimpulan
Kekhawatiran Toyota bukan hanya tentang posisi Indonesia dibanding Malaysia, tetapi juga tentang arah perkembangan industri otomotif nasional. Penjualan mobil yang melemah bisa memengaruhi investasi, produksi, dan masa depan industri secara keseluruhan. Namun peluang perbaikan masih terbuka. Dengan strategi yang tepat, Indonesia masih bisa mempertahankan posisinya sebagai pasar terbesar di ASEAN.
Stimulus pemerintah, inovasi produk, dan stabilitas ekonomi menjadi kunci utama. Jika semua pihak bergerak bersama, industri otomotif Indonesia dapat kembali bangkit dan bersaing di kawasan dengan lebih kuat. Tanpa langkah konkret, bukan tidak mungkin pasar Malaysia justru akan menyalip, sesuatu yang selama ini tidak pernah terjadi dalam sejarah otomotif ASEAN.

Cek Juga Artikel Dari Platform koronovirus.site
